Tampilkan postingan dengan label Ilmu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ilmu. Tampilkan semua postingan

Keberadaan Lembaga Wali Nanggroe (LWN) Dan Majelis Adat Aceh (MAA) Dalam Struktur Pemerintah Aceh

Keberadaan Lembaga Wali Nanggroe (LWN) Dan Majelis Adat Aceh (MAA) Dalam Struktur Pemerintah Aceh

Asmadi Syam

Abstrak

Hak otonomi khusus Aceh diwujudkan dalam 3 (tiga) kekhususan yaitu agama, pendidikan, dan adat istiadat. Terbentunya Lembaga Wali Nanggroe (LWN), dan Majelis Adat Aceh (MAA) merupakan bentuk perwujudan kekhususan di bidang adat istiadat. Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dan fungsi yang hampir sama, sehingga dimungkinkan terjadi benturan kewenangan dalam menjalankan tugas dan fungsi.
Penelitian ini bertujuan mengetahui dan menjelaskan tentang kedudukan Lembaga Wali Nanggroe (LWN), dan Majelis Adat Aceh (MAA) dalam struktur Pemerintahan Aceh dan juga mendeskripsikan konflik kewenangan antara kedua lembaga tersebut ditinjau dari kelembagaan negara.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang bertujuan menganalisa kaidah-kaidah dan asas-asas yang berlaku dalam ilmu hukum. Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primair, sekunder dan tersier untuk mengalisis permasalahan yang diangkat.

Penerapan Asas Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) dalam Perkara Pidana untuk Menegakkan Keadilan Restoratif

Penerapan Asas Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) dalam Perkara Pidana untuk Menegakkan Keadilan Restoratif

Handa Lesmana, Dharma Setiawan Negara, Erwin Susilo

Abstrak

Penerapan asas rechterlijke pardon (pemaafan hakim) dalam sistem peradilan pidana Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan hukum dan praktik. Meskipun konsep ini telah diakomodasi dalam Pasal 54 ayat (2) UU No. 1 Tahun 2023 yang akan berlaku mulai 2 Januari 2026, saat ini hakim belum memiliki dasar hukum yang jelas untuk menerapkannya. Kekosongan hukum ini menyebabkan keterbatasan bagi hakim dalam menggunakan diskresi untuk tidak menjatuhkan pidana kepada terdakwa yang terbukti bersalah, tetapi layak mendapatkan pemaafan berdasarkan keadilan dan kemanusiaan. Penelitian ini mengkaji regulasi terkait pemaafan hakim dalam sistem hukum Indonesia serta tantangan penerapannya dalam putusan hakim. Penelitian ini juga membahas bagaimana pemaafan hakim dapat mendukung konsep keadilan restoratif sebagaimana diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 2024.

Penerapan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Atas Perbuatan Korupsi Oleh Pegawai Negeri dan/atau Pejabat Publik

Penerapan Pasal 2 Ayat (1) Dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Atas Perbuatan Korupsi Oleh Pegawai Negeri Dan/Atau Pejabat Publik

R. Deddy Harryanto


Abstrak

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 belum secara tegas mengatur di mana garis perbedaan antara pelaku korupsi pegawai negeri sipil/pejabat publik dengan pelaku korupsi yang bukan pegawai negeri sipil/pejabat publik, dan oleh karena itu tulisan ini bertujuan memberikan pemahaman mengenai perbedaan antara ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor yang mengatur ketentuan umum mengenai tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian negara, dengan ketentuan Pasal 3 UU Tipikor yang mengatur secara khusus mengenai menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang diperoleh dari jabatan atau kedudukan seseorang, yang secara khusus pula jabatan tersebut dimiliki oleh pegawai negeri sipil dan/atau pejabat publik. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif dengan teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan (library research). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001) tidak dapat diterapkan terhadap pegawai negeri dan pejabat publik yang memiliki kewenangan dan jabatan/kedudukan sebagai pejabat publik, karena lebih tepat diterapkan ketentuan Pasal 3 UU Tipikor yang secara khusus mengatur tentang “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”.

Sinkronisasi Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2018 tentang Penanaman Modal dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja

Sinkronisasi Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2018 tentang Penanaman Modal dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja

Gita Melisa

Abstrak

Dari kajian awal mengenai penanaman modal pada dua hukum positif yang ada, yaitu Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2018 tentang Penanaman Modal dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (omnibus law) masih terdapat beberapa aturan yang masih bertentangan. Salah satunya yaitu Pasal 2 yang mengatur tentang asas penanaman modal berkaitan dengan pemerataan hak, kemudahan berusaha, kebersamaan dan kemandirian, dan asas ini belum diharmonisasikan ke dalam Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2018 tentang Penanaman Modal. Penelitian ini bertujuan menelaskan pentingnya sinkronisasi dalam membentuk peraturan perundang-undangan di Indonesia dan bagaimana cara mencegah terjadinya disharmoni peraturan perundang-undangan. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normative. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Sinkronisasi antara Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2018 tentang Penanaman Modal dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja adalah langkah penting dalam memastikan kejelasan hukum, konsistensi, dan kesesuaian dalam pelaksanaan kebijakan investasi di wilayah Aceh.

Implementasi Otonomi Khusus Setengah Hati di Aceh (Studi implementasi Pasal 8 UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh)

Implementasi Otonomi Khusus Setengah Hati di Aceh (Studi implementasi Pasal 8 UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh)

Safaruddin [1]

Abstrak

Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang. Istimewa dan khusus ini merupakan bentuk dari pengakuan negara terhadap penerapan desentralisasi asimetris terhadap beberapa daerah di Indonesia. Ada Daerah yang Istimewa dengan ciri khas daerahnya, seperti Yogyakarta yang istimewanya diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Provinsi Aceh Keistimewaannnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Sedangkan untuk daerah yang diberikan otonomi khusus seperti Papua yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, Aceh juga diberikan kewenangan Otonomi khusus selain keewenangan Istimewa sebagaimana di atur dalam UU PA. kemudian ada juga Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang diatur dalam UU No. 29 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan RI.

Ilmu Hukum

Definisi ilmu hukum merupakan batasan yang diberikan terhadap kajian ilmu hukum. Definisi ilmu hukum kemudian menjadi persoalan yang terlebih dahulu harus dijawab oleh para sarjana hukum sebelum mendefinisikan hukum itu sendiri. Oleh karena hukum telah berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang sangat maju dan tak pernah putus sebagai bahan kajian.

Keberadaan Lembaga Wali Nanggroe (LWN) Dan Majelis Adat Aceh (MAA) Dalam Struktur Pemerintah Aceh

Keberadaan Lembaga Wali Nanggroe (LWN) Dan Majelis Adat Aceh (MAA) Dalam Struktur Pemerintah Aceh Asmadi Syam Abstrak Hak otonomi khusus Ace...