Penerapan Pasal 2 Ayat (1) Dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Atas Perbuatan Korupsi Oleh Pegawai Negeri Dan/Atau Pejabat Publik
Abstrak
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 belum secara tegas mengatur di mana garis perbedaan antara pelaku korupsi pegawai negeri sipil/pejabat publik dengan pelaku korupsi yang bukan pegawai negeri sipil/pejabat publik, dan oleh karena itu tulisan ini bertujuan memberikan pemahaman mengenai perbedaan antara ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor yang mengatur ketentuan umum mengenai tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian negara, dengan ketentuan Pasal 3 UU Tipikor yang mengatur secara khusus mengenai menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang diperoleh dari jabatan atau kedudukan seseorang, yang secara khusus pula jabatan tersebut dimiliki oleh pegawai negeri sipil dan/atau pejabat publik. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif dengan teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan (library research). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001) tidak dapat diterapkan terhadap pegawai negeri dan pejabat publik yang memiliki kewenangan dan jabatan/kedudukan sebagai pejabat publik, karena lebih tepat diterapkan ketentuan Pasal 3 UU Tipikor yang secara khusus mengatur tentang “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”.
Kata kunci: korupsi, pegawai negeri sipil, kewenangan, dan jabatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar